Rabu, 25 Mei 2011

hukum islam antara idealisme dan positivisme

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perdebatan tak kunjung habis teori-teori sosial tentang peran hukum dalam perubahan masyarakat tidak seharusnya menghasilkan keraguan tentang keharusan melakukan perubahan mendasar atas sistem hukum dan pranata hukum untuk mengatur dan menunjang kehidupan masyarakat modern yang harus demokratis, transparan dan berkeadilan. Oleh karenanya tidak menjadi penting benar apakah hukum yang mengatur perubahan masyarakat sebagaimana diteorikan Roscoe Pond atau hukum mengikuti dengan rajin dari belakang perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat.. Pada akhirnya jika sistem hukum dan pranata keadilan dibutuhkannya untuk menyelesaikan perbedaan nilai atau konflik kepentingan yang sudah ada disana, maka harus siap untuk digunakan oleh pencari keadilan dengan nilai-nilai kekiniannya yang diterima mayoritas anggota masyarakat melalui sistem perwakilan dan debat publik yang luas. Yang menjadi sorot utama pada negara Indonesia selama ini sekaligus juga menjadi kelemahan. Pada zaman Orde Lama dan Orde Baru prioritas utama lebih ditujukan pada penyesuaian hukum Belanda dan hukum adat dengan nilai-nilai Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat. Di sela-sela usaha tersebut banyak lahir kebijakan publik yang menekankan perlindungan kelanggengan penguasa (kekuasaan) dan sekelompok tertentu yang berada dalam sistem perlindungan penguasa.
Kondisi Indonesia saat ini mengalami masa transisi setelah munculnya reformasi Mei 1998. Kondisi ini juga diperparah dengan terjadinya keterpurukan hukum di Indonesia. Kendala utama untuk membebaskan dari kondisi ini terletak pada legal thought yang masih teramat legalistik-positivistik yang dianut oleh sebagian besar kalangan hukum Indonesia. Akibatnya teori hukum yang dipelajari dan yang kemudian ingin dijadikan andalan untuk menemukan solusi terhadap keterpurukan tersebut hanyalah sekedar ilmu hukum positif yang sangat sempit sehingga mustahil melahirkan solusi terhadap situasi yang serius ini. Pembahasan ini mencoba ingin meletakkan teori hukum pada posisi yang sebenarnya sehingga mampu menjadi alat yang efektif untuk membebaskan Indonesia dari keterpurukannya di bidang hukum khususnya.

BAB II
PEMBAHASAN

a. Apa itu Positivisme?
Positivisme dalam pengertian modern, adalah suatu sistem filsafat yang dikembangkan oleh Aguste Comte (1798-1857). Positivisme adalah metode berfikir yang hanya mengakui fakta-fakta positif dan fenomena-fenomena yang bisa diobservasi, hubungan objektif fakta-fakta dan hukum-hukum yang menentukannya, dan meninggalkan semua yang menyebabkan asal-usul tertinggi[1].
Comte seorang matematikus dan filusuf perancis, membedakan tiga tahap evolusi dalam pemikiran manusia. Tiori tersebut terkenal dengan nama “Tiori Tiga Tahap”. Berdasarkan tiori tiga tahap, seluruh sejarah pemikiran manusia berevolusi dari studium yaitu tiologi (mistis) ke tahap falsafi, dan akhirnya tiba pada tahap positivistis sebagai kemenangan pasti akal. Dalam tahap tiologi, semua fenomena dijelaskan dengan menunjukan kepada sebab-sebab supernatural dan intervensi suatu yang bersifat Ilahi, dan segala problematika manusia dipecahkan dengan mengacu pada dunia Tuhan atau para dewa-dewa yang tidak terjangkau panca indra. Dalam tahap kedua, pemikiran manusia menuju prinsip-prinsip dan ide-ide tertinggi. Dalam tahap falsafi ini “hakikat” segala sesuatu menjadi keterangan terakhir. Dalam tahap ketiga ini yakni tahap positivistis orang mengucapkan selamat tinggal untuk selama-lamanya untuk para dunia dewa dan hakikat-hakikat, dan membatasi penyelidikan ilmu pengetahuan pada fakta[2].
Perinsip pokok positifisme berbunyi “ilmu yang dapat mengajar kepada kita tentang kenyataan hanyalah ilmu-ilmu positif. Ini adalah ilmu pengetahuan (ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan manusia) yang ditunjukkan pada pengamatan keadaan yang sesungguhnya, untuk mengenal keteraturan hukum didalamnya. Disamping ilmu-ilmu positif ini (yang membicaraan kenyataan) positivisme mengakuai keilmiahan ilmu formal (didalamnya dilakukan putusan-putusan kenyataan), yaitu logika dan ilmu pasti. Dengan menganut perinsip ini maka filsafat, tiologi dan etika tidak lagi dianggap sebagai suatu yang ilmiah[3].
b. Hukum Dan Positivisme
Positivisme hukum lahir pada abad ke-19 di tengah pergulatan teoretisi hukum Eropa. Positivisme hukum lahir sebagai kritik atas paradigma berhukum saat itu yang dianggap terlalu idealis dan tidak mempu memenuhi hasrat kepastian hukum (law certainty) karena mengabaikan aspek kodifikatif dari hukum yang menurutnya merupakan jantung penegakan hukum dalam rangka menciptakan kepastian hukum[4].
Dimulai pada pertengahan kedua abad ke 19, positivisme menjalar ke dalam segala cabang ilmu pengetahuan sosial, termasuk ilmu pengetahuan hukum. Ia berusaha memangkas pertimbangan nilai-nilai dari ilmu yurisprudensi dan membatasi tugas ilmu-ilmu ini dan mendobrak tatanan hukum positif. Pakar hukum positif mengajarka bahwa hukum positiflah yang merupakan hukum yang berlaku, dan hukum positif disini adalah norma-norma yudisial yang telah dibangun oleh otoritas negara. Ia juga menekankan pada pemisahan ketat antara positif dari etika dan kebijakan sosial, dan cenderung mengidentifikasikan keadilan dengan legalitas, yakni ketaatan kepada aturan-aturan yang ditentukan oleh Negara[5].

c. Aliran-aliran positivisme hukum
Dalam aliran ini ada dua sub aliran yang terkenal yaitu aliran positivisme hukum analitik dan positivisme hukum pragmatik.
1. Positivisme hukum analitik
Dalam tiori hukum modern, positivisme hukum telah memanifestasikan dirinya ke dalam yurisprudensi suatu tipe analitik yang disebut sebagai positivisme analitik. Positivisme analitik bertitik tolak dari suatu tatanan hukum tertentu dan dari situ dijaring suatu konsep-konsep, pengertian-pengertian dan perbedaan-perbedaan fundamental tertentu dengan menggunakan metode yang sepenuhnya induktif membandingkan semuanya itu mungkin dengan perbedaan-perbedaan, konsep-konsep dan pemikiran-pemikiran fundamental tertentu, dan tatanan hukum lain, untuk memastikan sejumlah unsur yang sama. Dengan cara ini ia melengkapi ilmu pengetahuan hukum dengan sebuah anatomi suatu sistem hukum. Perinsipnya, memisahkan hukum sebagaimana adanya dari hukum sebagaimana seharusnya[6].
Jhon Austin, seorang yuris inggris yang hidup antra tahun 1790-1859, adalah tokoh yang telah memformulasikan sistem positvisme hukum analitis. Ia mendefenisikan hukum sebagai suatu aturan yang ditentukan untuk membimbing makhluk yang berakal oleh mahluk berakal yang telah memiliki kekuatan mengalahkanya. Jadi, hukum dari suatu aliran positif analitis berarti a command of the lawgiver (perintah yang membentuk undang-undang dan penguasa), yaitu suatu perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, dengan kata lain sumber hukum positif adalah pembuat hukum sebagai yang berdaulat atau yang berkuasa[7].
Perintah dari penguasa menjadi karakteristik hukum positif yang terpenting menurut tiori ini. Akan tetapi tidak semua perintah oleh Austin dianggap sebagai hukum hanya saja perintah-perintah umum, yang mengharuskan seseorang atau orang-orang untuk bertindak atau bersabar dari suatu kelas, pantas mendapat atribut hukum menurut pandangannya[8]. Menurut Austin, sebuah perintah yang memenuhi syarat sebagai sebuah hukum tidak harus keluar langsung dari sebuah badan legislatif suatu negara. Ia bisa saja keluar dari suatu badan resmi yang otoritas pembuatan hukum telah didelegasikan oleh penguasa, semisalnya badan kehakiman. Menurutnya hukum buatan hakim itu adalah hukum positif dalam pengertian yang sebenarnya, karena aturan-aturan yang dibuat hakim melalui kekuatan hukum yang merupakan kekuasaan yang diberikan oleh negara[9].
Ada empat unsure terpenting menurut ajaran Austin, sesuatu itu dapat dinamakan sebagai hukum apabila mempunyai empat unsur yaitu: perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Ketentuan-ketentuan yang tidak mengandung empat unsur tersebut di atas, bukan termasuk hukum positif melainkan hanya moral positif. Inilah ajaran Austin, bahwa hukum harus dipisahkan dari konsep moralitas. Kaitan antara ke empat unsur tersebut adalah: unsur perintah ini berarti suatu pihak menghendaki agar orang lain melakukan kehendaknya, pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan apabila perintah itu tidak dijalankan atau dita’ati. Perintah itu merupakan kewajiban yang diperintah[10].
Berhubungan dengan tioti Austin berlandaskan pada perintah penguasa-penguasa dalam arti negara modern, diterima dan dikembangkan oleh Rudolf von Ihering dan Goerge Jellinek. Kaum positivisme sejak dari Austin amat berpengaruh oleh tiori hukum dengan mengubah penekanan dari tiori-tiori keadilan menjadi tiori-tiori negara berdaulat nasional sebagai gudang dan sumber kekuasaan hukum. Kelsen dan para pengikutnya dikenal dengan “mazhab wina” itu benar-benar telah mengemukakan dan mengembangkan positivisme analitis Austin[11].
Positivisme analitis pada masa sekarang diketengahkan kembali dengan istilah “Mazhab Wina”. Salah seorang pembahasnya adalah Hans Kelsen lahir tahun 1881. Tiori hukum murni, menurut kelsen adalah sebuah tiori hukum positif tiori ini berusaha menjawab apa hukum itu? Bukan apa itu hukum sebenarnya? Tiori ini mengkonsentrasikan diri pada hukum semata-mata, dan berusaha membebaskan ilmu pengetahuan hukum dari campur tanggan ilmu pengetahuan asing seperti posikologi dan fisika. Kelsen mengakui bahwa hukum tidak bisa dijadikan sebagai obyek penelitian sosiologis[12].
Kritik atas teori Austin
Penggolongan Austin yang mengkatogorikan hukum sebagai perintah telah dikritik dari berbagai sisi. Misalnya penulis Bryce, Gray, Dcey, dan lain-lain menganggap bahwa hak-hak privat, undang-undang administratif dan hukum-hukum Deklaratori tidak bisa digolongkan sebagai perintah. Disamping itu, teori Austin tidak menawarkan pemecahan dalam menghadapi pendapat-pendapat yang bertentangan dengan suatu keadilan[13].
2. Positivisme hukum pragmatik
Positivisme pragmatik, sebagai gerakan kaum realis Amerika, merupakan lawan dari teori Austin. Positivisme pragmatis melihat hukum-hukum sebagai karya dan fungsi, bukan sebagai yang tertulis diatas kertas. Pragmatik merupakan rumusan baru dari filsafat. Ia mendorong pendekatan baru pada hukum, yang melihat ke arah barang-barang yang terakhir, hasil-hasil dan akibat-akibat[14].
Inti dari pendekatan pragmatis pada problem-problem hukum adalah tidak mengikuti yang tercataat diatas kertas. Tentu sudah umum sifatnya
Positivisme pargmatik dan analitik merupaka kubu-kubu yang terpisah dalam konsep hukum mereka. Bagi positivisme analitik hukum dipisahkan dari etika, sedangkan bagi positivisme pragmatik menempelkan makna penting kebaikan etika, tetapi esensi baik, sebagaimana di nyatakan oleh William James, benar-benar untuk memuaskan keinginan-keinginan. Roscoe Pound (dilahirkan pada 1870), pendiri Filsafat Sosial Amerika, benar-benar terpengaruh oleh filsafat pragmatik yang di kembangkan oleh William James, karna ia menganggap tujuan akhir hukum dalam rangka memuaskan keinginan-keinginan semaksimal mungkin[15].
Hukum, menurut Positivisme Pragmatik harus ditentukan oleh fakta-fakta sosial yang berarti sebuah konsepsi hukum dalam perubahan-perubahan terus menerus dan konsep masyarakat yang berubah lebih cepat di bandingkan hukum, sedangkan Positivisme Analitik mempertahankan kestabilan kaku dalam hukum. Kaum Positivisme Pragmatis mementingkan hukum seharusnya, sedangkan teori Austin hanya mementingkan “apa” hukum itu. Perbedaan ini, disamping lainnya, membuat positivisme menjadi sebuah teori yang mengalami kontradiksi dalam dirinya sendiri[16].
Kritik teori Kelsen
Singkatnya tiori kelsen membatasi dirinya pada hukum sebagaimana adanya tanpa memperhatikan keadilan dan ketidak adilan. Menurut Stammer, kemurnian mutlak bagi tiori hukum apapun adalah tidak mungkin. Kata Kelsen, harus mengakuai manakala tiori ini memasuki pernyataan tentang norma-norma fundamental yang bertentangan. Pernyataannya, yang merupakan norma fundamental yang valid, dimana tiori murninya tidak bisa menghindari, karena tanpa kasemuanya itu keseluruhan bangunan itu akan runtuh. Dari sisi lain, Lautherpacht seorang pengikut kelsen mempertanyakan apakah tiori herarki norma-norma hukum tidak menyatakan secara tidak langsung sebuah pengakuan secara tidak langsung sebuah pengakuan akan perinsip-prinsip hukum alam walaupun kelsen menyerang keras ideologi hukum alam.
d. Idealisme
Pelopor idealisme: J.G.Fichte (1762-1814), G.W.F. Hegel (1770-1831) F.W.J. scheling (1775-1854), schopenhauer (1788-1860).
Apa yang dirintisi oleh kant mencvapai puncak perkembanganya pada hegel, dia lahir di german sehingga pengaruhnya sangat besar di german, setelah ia mempelajari pemikiran kant, ia tidak puas tentang ilmu pengetahuan di batasi secara kritis. Menurut pendapatnya bahwa, segala pristiwa yang ada di muka bumi ini hanya bisa di mengerti apabila suatu syarat terpenuhi, yaitu jika pristiwa-pristiwa itu sudah secara otomatis mengandung penjelasan-penjelasan. Ide yang berfikir itu sebenarnya adalah yang menimbulkan gerak lain, artinya gerak yang menimbulkan tesis, kemudian menimbulkan anti tesis (gerak yang bertentangan), kemudian timbul sintesis yang merupakan tesis baru yang akhirnya menemukan anti tesis dan seterusnya ini yang disebut proses dialektika. Proses ini lah yang menjelaskan segala pristiwa[17].
e. Positivisme dan Idealisme[18]
Dalam tori hukum, positivisme dan idealisme digambarkan saling bertentangan. Tiori-tiori idealistik didasarkan pada pernsip-prinsik keadilan dan amat berkaitan dengan “hukum yang seharusnya”. Filsafat hukum idealis menggunakan metode deduksi dalam menarik hukum dari azaz-azaz yang didasarkan manusia sebagai makhluk etis sosial.
Sementara itu tiori positivistik diilhami oleh pandangan-pandangan tentang hukum yang bertentangan. Paham positivisme analitik tidak mempermasalahkan dasar kaidah-kaidah hukum tetapi mengkonsintrasikan diri pada analisis konsep-konsep dalam hubungan-hubungan hukum dengan pemisahan ketat antara kenyataan (das sein) dengan hal yang diharapkan (das sollen) karenanya ia dipisahkan dari keadilandan etika. Namun demikian, hukum alam hadir sebagai hukum yangb idealdan lebih tinggi untuk digunakan sebagai standar keadilan. Akan tetapi karena didasarkan pada akal yang selalu berubah, ia tidak bisa bertopang pada dirinya sendiri dan akhirnya hancur.
Positivisme pragmatis memandang fakta sosial sebagai unsur yang menentukan konsep hukum, karena ia mementingkan hukum yang seharusnya. Ia menganggap bahwa hukum tunduk kepada masyarakat, yang karenanya konsep hukum terus mengalami perubahan sesuai dengan perubahan dalam masyarakat yang lebih cepat berubah daripada hukum.
Positivisme merupakan korban ketegangan konflik, positivisme analitik dan pragmatik merupakan kubu-kubu yng terpisah dalam konsep hukum mereka. Perbedaan ini disamping yang lain, membuat positivisme tiori yang kontradiksi dalam dirinya sendiri.

f. Hukum Islam (Hukum Sempurna)[19]
Tuhan adalah maha sempurna. Dengan demikian, hukum islam sebagai islam yang ditentukannya tentu juga sempurna. Jika terjadi sebaliknya, maka akan ada anggapan bahwa asal usul ketidaksempurnaan itu adalah Allah, dan ini justru tidak mungkin terjadi. Ia maha kuasa, maha mengetahui dan maha ada, sehingga hukumnya maha meliputi. Ia adalah yang pertama dan yang akhir, yang zahir dan yang batin. Ia mengetahui segala sesuatu. Jadi hukumnya universal dan untuk sepanjang zaman, terutama sekali karena jangkauanya bukan hanya dunia ini tepapi juga akhirat.
Al-quran dan Sunnah merupakan sumber primer atau orosinal, diwahyukan oleh Tuhan, sebagai satu-satunya yang mengetahui apa yang mutlak baik untuk manusia. Hukum itu harus diteliti dengan cermat dan ditafsirkan dalam isi dan spirit.
Syariat merupakan kumpulan hukum-hukum Tuhan ia mengkobinasikan hukum sebagai adanya dan hukum sebagai yang seharusnya, sekaligus mempertahankan perintah dan keadilan. Sebagai perintah Tuhan, penguasa tetinggi berubah, syariat adlah hukum positif, dan karna keadilan menjadi tujuan puncaknya, syariat ideal. Tetaplah penyataan bahwa hukum islam itu adalah “Hukum positif dalam bentuk ideal”.
Positivisme dan Idealisme dalam hukum islam benar-benar harmonis antara satu sama lain. Pernyataan ini sesuai dengan firman Allah dalam surah Assyura’ ayat 17

Allah-lah yang menurunkan kitab dengan (membawa) kebenaran dan (menurunkan) neraca (keadilan). dan tahukah kamu, boleh Jadi hari kiamat itu (sudah) dekat ?[20]
Surah As-syams ayat 7-10

Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
Dengan demikian hukum islam, merupakan hukum yang bersumberkan dari wahyu Tuhan sekaligus melibatkan penalaran dan analisis manusia yang memahami wahyu itu. Ijtihad yang dilakukan oleh Jurist muslim merupakan bukti kongkrit keterlibatan manusia dalam menggali hukum yang hidup dalam masyarakat.


BAB III
KESIMPULAN

Dalam tori hukum, positivisme dan idealisme digambarkan saling bertentangan. Tiori-tiori idealistik didasarkan pada pernsip-prinsik keadilan dan amat berkaitan dengan “hukum yang seharusnya”. Filsafat hukum idealis menggunakan metode deduksi dalam menarik hukum dari azaz-azaz yang didasarkan manusia sebagai makhluk etis sosial.
Sementara itu tiori positivistik diilhami oleh pandangan-pandangan tentang hukum yang bertentangan.
Tuhan adalah maha sempurna. Dengan demikian, hukum islam sebagai islam yang ditentukannya tentu juga sempurna. Jika terjadi sebaliknya, maka akan ada anggapan bahwa asal usul ketidaksempurnaan itu adalah Allah, dan ini justru tidak mungkin terjadi. Ia maha kuasa, maha mengetahui dan maha ada, sehingga hukumnya maha meliputi. Ia adalah yang pertama dan yang akhir, yang zahir dan yang batin. Ia mengetahui segala sesuatu. Jadi hukumnya universal dan untuk sepanjang zaman, terutama sekali karena jangkauanya bukan hanya dunia ini tepapi juga akhirat.












DAFTAR PUSTAKA

[1] Fathurahman djamil, filsafat hukum islam. Cet. I jakarta: logos wacana ilmu, 1997. hlm 53
[2] ibid
[3] ibid
[4] natsirasnawi.blogspot.com/.../positivisme-hukum-kodifikasi-hukum-dan.html
[5] Muhammad Muslehuddin, filsafat hokum islam dan pemikiran orientalis. Cet. I Yogyakarta: tiara wacana 1991. Halm28
[6] ibid
[7] Fathurrahman djamil, opcit. hal 56
[8] Muhammad muslehuddin, opcit. Hal 29
[9] Fathurrahman djamil, opcit. Hal 57
[10] Ibid, hal 57
[11] Muhammad muslehuddin, lopcit. Hal 29
[12] Fathurrahman Djamil, hal 60
[13] Muhammad muslehuddin, lopcit. Hal 31
[14] idid
[15] Muhammad Muslehuddin, opcit. Hal 32
[16] ibid
[17] Asmoro achmadi, filsafat umum, ed 1 cet 2. Jakarta 1997. Hal 115
[18] Fathurrahman Djamil, lopcit, hal 60
[19] Ibid. Hal 63
[20] Al-quran , QS. Assura’ ayat 17

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan