Kamis, 26 Mei 2011

KEDUDUKAN DAN FUNGSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sistem Hukum Di Indonesia
Negara Republik Indonesia menganut berbagai sistem hukum, yaitu sistem hukum adat, sistem hukum islam, dan sistem hukum eks barat. Ketiga sistem hukum di maksud, berlaku di negara Indonesia sebelum Indonesia merdeka. Namun demikian, sesudah indonesia merdeka ketiga sistem hukum dimaksud akan menjadi bahan baku dalam pembentukan sistem hukum nasional di Indonesia. Demikian asumsi penulis berdasarkan pendekatan yuridis normatif. Lain halnya bila di amati ketiga sistem hukum tersebut dalam pendekatan yuridis empiris, yaitu di sana sini masih tetap berlaku ketiga sistem hukum tersebut.
Ketiga sistem hukum yang di sebutkan di atas, merupakan pencerminan dari sistem hukum yang berlaku di beberapa negara di dunia. Di dunia ini sekurang-kurangnya ada lima sistem hukum yang besar yang hidup dan berkembang, yaitu
1) Sistem common law yang di anut di Inggris dan bekas jajahannya yang saat ini pada umumnya, bergabung dalam negara persemakmuran,
2) Sistem civil law yang berasal dari hukum Romawi, yang di anut di Eropa Barat kontinental dan di bawa ke negara jajahan atau bekas jajahannya oleh pemerintah Kolonial Barat dahulu,
3) Sistem hukum adat di negara Asia dan Afrika,
4) Sistem hukum islam yang di anut oleh orang islam di manapun mereka berada, baik di negara islam maupun di negara lain yang penduduknya beragama Islam,
5) Sistem hukum komunis / sosialis yang di laksanakan di negara-negara komunis / sosialis seperti Uni Soviet dan kroninya atau satelitnya
Kalau membicarakan sistem hukum di Indonesia perlu mengetahui dan memahami bahwa sistem hukum di maksud adalah yang berasaskan pancasila. Pancasila sebagai asas yang menjadi pedoman dan bintang pemandu terhadap Undang-Undang dasar 1945, Undang-Undang dan peraturan lainnya. Oleh karena itu, pancasila sebagai norma fundamental negara membentuk norma-norma hukum bawahannya secara berjenjang. Norma hukum yang di bawah terbentuk berdasar dan bersumber pada norma hukum yang lebih tinggi, sehingga tidak terdapat pertentangan antara norma hukum yang lebih tinggi dan yang lebih rendah, begitu juga sebaliknya. Hal itu, menunjukkan bahwa pancasila sebagai cita hukum dalam kehidupan hukum bangsa Indonesia di satu pihak lain sebagai sistem norma hukum yang menjadi norma fundamental negara dan aturan tertulisnya terdapat dalam pembukaan dan Batang tubuh UUD 1945, menunjukkan bahwa cita hukum menjadi bintang pemandu dan sistem norma hukum yang terdiri atas berbagai jenjang norma hukum yang secara riil dan konkrit perilaku kehidupan hukum rakyat indonesia. Keduanya di lahirkan bersamaan dan dari satu induk pula, yaitu konsensus para pendiri negara Republik Indonesia pada tanggal 17 agustus 1945. Hukum indonesia sebagai suatu sistem yang berlaku di negara republik indonesia sebelum Indonesia merdeka. Namun, sesudah Indonesia merdeka ketiga sistem tersebut, akan menjadi bahan baku dalam pembentukan sistem hukum nasional di Indonesia.

B. Perbandingan Antara Sistem Hukum Islam Dengan Sistem Hukum Lainnya
Perbandingan antara sistem Hukum Islam dengan sistem Hukum Adat dan eks Barat. Ketiga sistem hukum di maksud, akan di bandingkan mengenai apa yang kelihatan dan berlaku di Indonesia. Caranya adalah melihat hal-hal sama dengan menyebut hal yang agama itu, akan kelihatan perbedaannya sebagai berikut :
1. Keadaanya
Ketiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia yang di maksud, walaupun keadaan dan saat mulai berlakunya tidaklah sama baik pendekatan yuridis normatif maupun pendekatan yuridis empiris.
Hukum adat telah lama berlaku di Nusantara ini. Namun, keberlakuannya tidak dapat di ketahui secara pasti, melainkan dapat si katakan bahwa jika di bandingkan dengan kedua hukum lainnya, hukum adatlah yang tertua umurnya. Sebelum tahun 1972 kadaannya biasa saja, hidup dan berkembang dalam masayarakat Indonesia.
Hukum islam mulai di kenal oleh penduduk yang mendiami Nusantara ini setelah agama islam di sebarkan di Indonesia. Namun, belum ada kesepakatan para ahli sejarah Indonesia mengenai waktu mulainya masuk agama islam ke Indonesia. Ada yang berpendapat pada abad ke-1 Hijriyah/7 Masehi, islam baru masuk ke Nusantara. Selain itu, ada yang berpendapat abad ke-13 masehi. Walaupun para ahli berbeda pendapat mengenai masuknya islam ke Indonesia. Namun, dapat di katakan bahwa setelah penduduk yang mendiami Nusantara ini memeluk agama Islam, hukum islam telah di ikuti dan di laksanakan oleh pemeluknya. Hal ini dapat di lihat dari studi para pujangga yang hidup pada zaman itu mengenai hukum Islam dan perannya dalam menyelesakan perkara-perkara yang timbul dalam masyarakat. Setelah Belanda menjajah nusantara ini, perkembangan hukum Islam ”dikendalikan” dan sesudah tahun 1927, tatkala teori resepsi mendapat landasan peaturan perundang-undangan (IS 1925), menurut Hazairin yang di kutip oleh Muhammad Daud Ali, perkembangan hukum Islam di hambat di wilayah Nusantara.
Hukum eks barat adalah hukum yang berasal dari hukum Romawi yang di anut oleh orang eropa barat kontinental. Hukum dimaksud diperkenalkan pemerintah Kolonial Belanda ketika berdagang di Indonesia. Hukum Barat mula-mula hanya diberlakukan kepada orang Belanda dan orang Eropa saja, lambat laun melalui berbagai upaya peraturan perundang-undangan (pernyataan penundukan dengan sukarela, pemilihan hukum, dan sebagainya), hukum barat itu di nyatakan berlaku juga bagi mereka yang di samakan dengan orang Timur Asing (terutama orang Cina), dan orang Indonesia. Sebagai hukum bagi golongan yang berkuasa pada waktu itu di Nusantara ini keadaan hukum Barat jauh lebih baik dan menguntungkan dari keadaan kedua sistem hukum di atas (Adat dan Islam) bagi pemerintah kolonial Belanda.
Hukum Adat dan hukum Islam adalah hukum bagi orang-orang Indonesia asli (Bumiputra) dan mereka yang di samakan dengan penduduk Bumi putra. Keadaan itu di atur oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu sejak tahun 1854 sampai dengan mereka meninggalkan Nusantara ini pada tahun 1942


2. Bentuknya
Pada dasarnya hukum Adat adalah hukum yang tidak tertulis. Ia tumbuh dan berkembang dan hilang sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat. Pada zaman itu, sedang di adakan usaha-usaha untuk mengangkat Hukum Adat menjadi hukum perundang-undangan dan dengan begitu di usahakan memperoleh bentuk tertulis. Sebagai contoh Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960. namun, hukum Adat yang telah menjadi hukum tertulis menjadi lain bentuknya dari Hukum Adat sebelumnya. Ia menjadi hukum dalam bentuk perundang-undangan.
Hukum Islam dalam bentuknya :
1) Hukum islam dalam hal tertentu dapat bermakna syariat islam
2) Hukum islam dalam hal lain dapat bermakna fikih yang biasa di sebut hukum fikih
3) Hukum islam dalam hal lain lagi dapat bermakna tidak tertulis dalam pengertian tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan seperti halnya Hukum Adat.
Hukum Islam dalam pengertian syariah,fikih, dan tidak tertulis dipatuhi oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berdasarkan kesadaran dan keyakinan mereka bahwa Hukum Islam itu adalah hukum yang bersumber dari wahyu dan hadist Nabi sehingga wajib di jadikan pedoman oleh umat Islam.
Hukum eks Barat, yang di bandingkan dalam hal ini adalah aspek keperdataan, hukum tertulis dalam bahasa Belanda di dalam perundang-undangan atau Kitab Undang-Undang seperti misalnya Burgelijk Wetboek (BW). Namun, karena bahasa yang di pakai oleh hukum tersebut telah menjadi rintangan bagi berlakunya hukum yang tertulis dalam perundang-undangan aslinya, maka hukum eks Barat itu, kini di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia., misalnya BW dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Terjemahan di maksud merupakan karya pribadi seseorang dan tidak mempunyai kekuatan mengikat seperti Undang-Undang, maka sesungguhnya di dalam praktik di indonesia hukum perdata eks barat itu telah berubah menjadi hukum tidak tertulis secara tidak di nyatakan dengan sadar. Suasana kehidupan hukum di Indonesia telah menjadikan hukum eks barat itu sebagai hukum yang semu tertulis. Selain itu, terjemahannya yang di konsep atau pengertian semula. Selain dari keadaan, bentuk hukum adat, hukum islam, dan hukum eks Barat yang telah di kemukakan secara singkat di atas, ketiga sistem hukum itu mempunyai tujuan masing-masing.
C. Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia
1) Teori Receptio in Complexu
Hukum Islam di Indonesia telah lama hidup dalam kesadaran hukum masayarakat islam di Indonesia, seiring dengan pertumbuhan agama Islam. Ini dapat di telusuri pada masa awal-awal Islam masuk Indonesia. Sebelum Islam masuk, dalam masyarakat membudaya kepercayaan animisme dan dinamisme. Kemudian, lahir kerajaan-kerajaan, yang masing-masing di bangun atas dasar agama yang di anut mereka, Hindhu Budha, dan di susul kerajaan-kerajaan, yang di dukung para wali pembawa dan penyiar agama Islam. Antara lain berdirilah kerajaan Demak di pesisir utara Jawa Tengah. Praktis sejak saat itu islam tidak saja berfungsi sebagai keyakinan, tetapi juga sebagai paduan amaliah praktis. Raja pada waktu itu mempunyai tiga fungsi utama, yaitu:
1. Pemerintahan umum
2. Pertahanan dan keamanan
3. Penata bidang agama
Oleh karena itu, gelar Raja pada saat itu antara lain adalah :
1. Sampeyan Dalem Hingkang Sinuhun
2. Sinopati Hing Halogo, yakni panglima tertinggi angkatan perang
3. Sayidin Panatagama Khalifatullah, yaitu Khalifah Allah pengatur bidang Agama
Simbolisasi dari ketiga fungsi tersebut di gambarkan dalam tata letak, antara alun-alun, kraton (sekarang kabupaten ), dan masjid dalam kerajaan- kerajaan islam di jawa yang hingga sekarang masih bisa di jumpai sisa-sisa peninggalannya. Adanya jabatan kanjeng penghulu,. Penghulu tuanku Mufti, tuanku Kadi di samping para raja dan bupati, sampai jabatan lebai, modin, kaum, dan sebagainya di samping lurah, kepala negara / kampung, tidak lain menunjukkan adanya pengaruh dan watak ketatanegaraan dari pelaksanaan syariat Islam di Indonesia.
Hukum Islam pernah di terima oleh masyarakat dan berlaku di Indonesia, kendatipun di dominasi oleh fiqh Syafi’iyah.masalah ini mengundang kontroversi di kalangan sarjana barat G.W.J.Drewes mengemukakan perdebatan seputar masalah tersebut dalam tema ” pemahaman baru tentang kedatangan Islam di Indonesia ?” sementara pendapat yang lain mengatakan bahwa pastilah orang- orang Arab itu berasal dari sebuah negri yang memegang madzab tersebut.
Hukum adat setempat dalam keyataannya sering menyesuaikan diri dengan Hukum Islam. Misalnya, di Banten pada kekusaan Sultan Agung Tirtayasa, Hukum Adat dan Hukum Agama tidak ada bedanya. Di Sulawesi, di Wajo, hukum waris di selesaikan dengan menggunakan Hukum Islam dan Hukum Adat. Keduaanya menyatu dan Hukum Adat menyesuaikan diri dengan Hukum Islam. Dengan kata lain, sosialisasi Hukum Islam pada waktu itu berjalan sangat hebat. Sultan agung menyebut dirinya sebagai Abdul Rahman Khaalifatullah Sayidi Panatagama. Atas dasar penerimaan Hukum Islam sebagai norma hukum yang berlaku dalam masayarakat, muncullah teori Receptio in Complexu yang di introdusir oleh Van den Berg.
Kenyataan ini dapat di dukung oleh bukti-bukti historis berikut ini :
a. Di daerah bone dan goa sulawesi selatan, di pergunakan kitab muharram dan Pepaken
Cirebon serta peraturan lain yang di buat B.J.D. Cloowijk. Jadi selama VOC berkuasa selama dua abad (1602-1800 M), kedudukan Hukum Islam tetap seperti semula, berlaku dan berkembang di kalangan kaum Muslimin Indonesia.
b. Dalam status Batavia 1642 m di sebutkan bahwa :
” sengketa warisan antara orang peribumi yang beragama islam harus diselesaikan dengan mempergunakan Hukum Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari- hari.” menindaklanjuti klausa tersebut, D.W.Freijer menyusun compendium (buku ringkasan ) mengenai hukum perkawinan dan kewarisan islam, setelah direvisi dan disempurnakan oleh para penghulu, diberlakukan di daerah jajahan VOC, yang kelak dikenal dengan Compedium Freijer.
c. Tanggal 25 mei 1760 M, VOC mengeluarkan peraturan senada yang di sebut dengan resolutie der indiscase regeering untuk di berlakukan.
d. Salomon Keyzer (1823-1868M) dan Cristian Van De Berg (1845-1927M) membiarkan Hukum Islam berlaku bagi masyarakat islam. Mereka menyatakan bahwa hukum mengikuti agama yang diikuti seseorang.
Sebenarnya pada awal abad ke-19 telah muncul sikap- sikap curiga dari sebagian pejabat kolonia. Ketua mahkama agung Belanda, Scholten Van out Harlem misalnya, menasehati para pejabat di Hindia Belanda agar berhati- hati. Namun sejauh itu, ia tetap menegaskan agar bagi kaum muslimin tetap di berlakukan hukum agamanya (pasal 75, regeering reglement, 1854).
Untuk kepentingan ini, pemerintah Belanda melakukan pengawasan dengan di keluarkannya peraturan-peraturan sebagaimana di jelaskan Munawir Sjadzali:
1. Bulan september 1808 M ada sebuah instruksi dari pemerintah Hindia Belanda kepada para bupati yang berbunyi : ” terhadap urusan – urusan agama orang-orang Jawa tidak akan di lakukan ganguan-gangguan, sedangkan pemuka-pemuka agama mereka di biarkan untuk memutuskan perkara-perkara tertentu dalam bidang perkawinan dan kewarisan dengan syarat tidak ada penyalah gunaan, dan banding dapat dimintakan kepada hakim banding.
2. Tahun 1820 M melalui Staatblad No. 22 pasal 13 di tentukan bahwa Bupati wajib memperhatikan soal-soal agama dapat melakukan tugas mereka sesuai dengan adat kebiasaan orang Jawa seperti soal perkawinan, pembagian pusaka, dan yang sejenis. Dari istilah bupati, dalam ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa peradilan agama telah ada diseluruh pulau Jawa.
3. Tahun 1823 dengan resolusi gubernur jendral tanggal 3 juni 1823 No. 12 diresmikan pengadilan agama di kota Palembang yang di ketuai oleh pangeran penghulu. Adapun banding dapat di mintakan kepada sultan. Wewenang pengadilan agama Palembang meliputi : (a) perkawinan, (b) perceraian, (c) pembagian harta, (d) kepada siapa di serahkan anak apabila orang tua bercerai, (e) apa hak masing-masing orang tua terhadap anak tersebut, (f) pusaka dan wasiat, (g) perwalian, dan(h) perkara-perkara lain yang menyangkut agama.
4. Tahun 1835M melalui resolusi tanggal 7 desember 1835, stbl. 1835 No. 58 pemerintah mengeluarkan penjelasan tentang pasal 13 stbl. 1820 No. 20 yang isinya sebagai berikut : “ apabila terjadi sengketa antara orang-orang Jawa satu sama lain mengenai soal-soal perkawinan, pembagian harta, dan sengketa-sengketa sejenis, yang harus di putus menurut hukum Islam, para pemuka agama memberi keputusan, tetapi gugatan untuk mendapat pembayaran yang timbul dari keputusan para pemuka agama itu harus di ajukan kepada pengadilan-pengadilan biasa.”
5. Klimaksnya, melalui stbl, 1882 No. 152 karena pemerintah belanda tidak mampu menerapkan undang-undang agama bagi kaum Bumi putera, dibentuklah pengadilan agama dengan nama yang salah, priessteraad atau pengadilan negeri. Wewenangnya meliputi perkara-perkara yang terjadi antara orang-orang Islam dan diselesaikan menurut hokum Islam.

2) Teori Receptie
Masuknya pemerintah kolonia Belanda ke Indonesia, membawa perubahan-perubahan dalam pelaksanaan hokum Islam, meskipun secara formal hokum Islam tetap di berlakukan. Hal ini di dasari oleh adanya kecurigaan dari sebagian pejabat Belanda pada awal abad ke – 19, meskipun mereka relative berhati-hati membuat peryataan. Menurut Daniel S.Lev, ketegangan ini adalah bagian ”politisasi” kekuatan islam menghadapi penguasa-penguasa Non-Islam. Selanjutnya ia mengganbarkan sebagai berikut:
“Sejak mula-mula islam melebarkan sayabnya di Indonesia, telah timbul ketegangan- ketegangan, kadang-kadang tampak samar-samar dan tertahan, dan terkadang pula nyata dan kasar, yaitu antara tuntutan ke arah kekuasaan yang kenyataan ke dalam bersifat Non-Islam, maupun yang bersifat sinkretis keagamaan”
Kompetisi dari wujud kecurigaan tersebut, pemerintah colonial mengintrodusir istilah het indische adatrecht atau hokum Adat Indonesia. gagasan ini di sponsori oleh Cornelis Van Vollenhoven (1874-1933). Kemudian di kembangkan oleh seorang penasihat pemerintah Hindia Belanda tentang soal-soal Islam dan anak negeri jajahan.
Dalam gagasan mereka, intinya bahwa hokum yang berlaku bagi orang Islam adalah hukum Adat mereka masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku apabila telah di resepsi atau di terima oleh Hukum Adat. Jadi, hukum adatlah yang menentukan ada tidaknya Hukum Islam. Dari sinilah kemudian lahir teori Receptie.
Muatan politik teori Receptie ini ada prinsip divide et impera yang bertujuan untuk menghambat dan menghentikan meluasnya hukum Islam dan membentuk konsep hukum tandingan yang mendukung politik pecah belah pemerintah kolonial. Musuh kolonialisme, menurutnya bukanlah Islam sebagai Agama., melainkan Islam sebagai doktrin politik. Ia melihat kenyataan bahwa Islam seringkali menimbulkan bahaya terhadap kekuasaan Belanda. Seperti kata Daniel s Lev, meskipun ia tahu bahwa islam di indonesia banyak bercampur dengan kepercayaan animisme dan Hindu, ia tahu bahwa orang Islam negeri ini memandang agamanya sebagai alat pengikat kuat yang membedakan diri dari orang lain.
Melalui usaha-usaha terus menerus dan sistematis, Hurgronje berhasil mengganti teori Receptio in Complexu menjadi teori Receptie.
Dalam wujud peraturan, teori ini mulai di terapkan pada pasal 134 ayat 2 IS yang sama bunyinya dengan artikel pasal 78 R.R. 1855 dan R.R 19076 dan R.R 1919, yang berbunyi: ”Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang islam akan di selesaikan oleh hakim agama Islam apabila keadaan tersebut telah di terimah oleh Hukum Adat mereka dan sejauh tidak di tentukan lain oleh ordonasi.”
Dalam teori Receptie, yang ada adalah Hukum Adat sementara Hukum Islam di anggap tidak ada. Hukum Islam di anggap eksis, berarti, dan bermanfaat bagi kepentingan pemeluknya, apabila Hukum Islam tesebut telah di resepsi oleh Hukum Adat.
Menindak lanjuti pasal 134 ayat 2 IS tersebut, pada tahun 1929 pasal 134 ayat 2 di ubah menjadi : ” dalam hal ini terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan di selesaikan oleh hakim agama Islam apabila Hukum Adat merka menghendakinya, dan sejauh tidak di tentukan lain dengan suatu ordonasi.” dalam Stbl. 1937 No. 116 di nyatakan bahwa : ” pengadilan agama di Jawa dan madura hanya berwenang memeriksa perkara perkawinan saja, sedangkan perkara waris yang selama beabad-abad menjadi kewenangannya yang di serahkan kepada pengadilan negeri.”
Gerakan awal ini setidaknya di dasari oleh anggapan bahwa pusat kekuatan Islam sebagai kekuatan politok, adalah di Jawa dan Madura. Karena itu jika peradilan Agama di Jawa dan Madura telah berhasil dipaksa dengan ”dikebiri” sebagian wewenangnya, maka untuk wilayah luar Jawa dan Madura akan lebih muda di laksanakan.
Setelah Jawa dan Madura berhasil ”di jinakkan” pada tahun yang sama serta melalui Stbl. 1937 No. 638 dan 639 .yang formalnya membentuk kerapatan qadhi dan qadhi besar untuk wilayah Kalimantan Selatan, kewenangannya dibatasi sebagaimana peradilan agama di jawa dan madura. Apabila dirinci, kewenangan pengadilan agama Dijawa dan Madura serta Kalimantan selatan berdasarkan stbl.1937 No. 116 adalah :
1. Perselisihan antara suami dan istri yang beragama islam
2. Perkara-perkara tentang (a) nikah, (b) talak , (c) cerai rujuk, (d) perceraian antara orang-orang yang beragama islam yang memerlukan perantaraan hakim agama Islam
3. memberi keputusan perceraian
4. menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya talak yang digantung (taklik talak) sudah ada
5. perkara mahar
6. perkara tentang keperluan kehidupan istri yang wajib di adakan oleh suami
Masalah-masalah yang berkaitan dengan masalah kebendaan seperti masalah wakaf, waris, wasiat, hibah, hadhanah, sedekah, baitul mal, menjadi wewenang peradilan umum sementara untuk wilayah luar jawa-madura dan kalimantan selatan tetap berlaku hukum islam tanpa ada pembatasan.
Di sisi lain, pada tahun 1937 juga dalam stbl. No. 610 di bentuk hof voor islamietische zaken (mahkama islam tinggi), sebagai pengadilan tingkat banding untuk pengadilan agama. Boleh jadi, ini ditempuh sebagai langkah persuasi–untuk tidak mengatakan hati-hati agar tidak terlalu drastis dan mengundang kecurigaan.
Kendatipun demikian, kebijakan hurgronje dengan politik islamnya, melalui teori receptie memicu timbulnya reaksi keras dari umat islam Indonesia. Prof. Hazairin misalnya, menyebutnya sebagai teori iblis. Menurut dia teori ini tidak sejalan dengan iman orang islam. Dengan teori ini orang islam diajak untuk tidak mematuhi al-quran dan sunnah rasulnya. Karena jelas sekali tujuan teori receptie adalah merintangi kemajuan Islam Indonesia.
Pengaruh teori receptie cukup besar, untuk tidak mengatakan sangat besar. Bukan saja pada para sarjana yang hidup pada masa-masa sebelum kemerdekaan dan di berlakukannya Undang-Undang dasar 1945 yang secara formal menghapus teori tersebut, tetapi juga hingga pertengahan dekade 70-an banyak hakim dalam lingkungan peradilan umum yang diminta menyelesaikan kasus warisan orang islam, diselesaikan menurut Hukum Adat.

3) Teori Receptio a Contrario
Gaung dan teori reseptie dalam masyarakat ternyata berjalan cukup ramah dan telah menguasai Hukum Indonesia teori yang menurut Sajuti Tholib, secara formal lahir melalui I.S 1929 pasal 134, hemat menulis bukan saja menguasai pikiran hingga masa-masa menjelang di undangkannya Undang-Undang dasar 1945 , tetapi bahkan hingga akhir dekade 90 an kecenderungan tersebut masih sangat di rasakan dan kelihatan jelas. Memang dalam waktu yang sama telah mulai muncul kesadaran di dalam sebagian masyarakat muslim, bahwa kelahiran UUD 1945 Seharusnya telah menggantikan UU negara jajahan Hindia Belanda.
Pada saat BPUPKI merumuskan dasar negara , para pemimipin islam berusaha memulihkan dan memdudukkan Hukum Islam dalam negara Islam yang merdeka. Dalam piagam jakarta 22 juni 1945, disepkati bahwa negara berdasarkan ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Namun demikian atas desakan pihak Kristen atau versi lain menyebut utusan dari wilayah negara Indonasia bagian timur dengan alasan kesatuan dan persatuan, panitia sembilan akhirnya mengeluarkan tujuh kalimat tersebut dari pembukaan UUD 45 dan diganti dengan kata ”Yang Maha Esa” yang menurt Daud Ali mengandung norma dan garis hukum.

Pada Tahun 1950 Dalam Konfrensi Departemen Kehakiman Di SalaTiga Prof. Hazairin telah mengalah suatu analisis dan pandangan agar Hukum Islam itu berlaku di Indonesia , tidak berdasar pada Hukum Adat. Berlakunya Hukum Islam menuru Hazairin, supaya di sandarkan pada penunjukkan peraturan perundang-undangan sendiri. Sama seperti Hukum Adat selama ini yang dasar memperlakukan Hukum Adat itu sendiri ialah berdasar sokongan peraturan perundang-undangan. Karena itu, haruslah di persiapkan dan di sebutkan perundang-undangan untuk itu.
Pada bagian lain, mengomentari pasal 29 UUD 1945 ayat 1 hanya mungkin di tafsirkan, di antaranya sebagai berikut:
1. Dalam negara Indonesia tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentngan dengan kaidah-kaidah Islam bagi Islam, atau bertentangan dengan kaidah-kaidah Nasrani bagi umat Nasrani, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Hindu Budha bagi orang-orang Hindu-Bali, atau yang bertentangan dengan kesusilaan agama Budha bagi orang Budha.
2. Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syari’at Islam bagi orang Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani, dan syari’at Hindu Bali bagi orang Hindhu Bali. Sekedar menjalankan syariat tersbut memerlukan perantaraan kekuasaan negara.
3. Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk menjalankannya, dan karena itu dapat di jalankan sendiri oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi terhadap Allah bagi setiap orang menjalankannya sendiri menurut agamanya masing-masing.
Boleh jadi karena gigihnya perjuangan Hazairin dalam usaha memberlakukan hukum Islam di Indonesia, maka oleh Daniel s. Lev ia dianggap tokoh yang menginginkan pembaharuan di Indonesia secara spektakuler dan radikal untuk melaksanakan ijtihad dalam rangka mengembangkan mazhab Indonesia sendiri. .
Tidak informasi yang jelas, mengapa masih ada saja orang-orang islam yang belum menerima dan menyadari kenyataan sejarah tersebut. Ada yang secara terang-terangan ingin mempertahankan teori iblis itu. Bahkan seperti akan dijelaskan nanti, hingga menjelang kelahiran Undang-Undang No 7 tahun 1989 tentang peradialan agama, mereka juga menentang habis-habisan, meskipun pada akirnya harus menerima fakta sejarah yang menginginkanya sejak lama
Meskipun harus diakui bahwa kendati hukum Islam telah di terima sebagai sistem yang berlaku sepenuhnya bagi umat islam dengan mengeluarkan Hukum Adat,atau dengan kata lain Hukum Adat baru berlaku apabila tidak bertentangn dengan Hukum Islam, wacana materiilnya terbatas pada hukum-hukum yang diatur dalam perundang-undangan. Dari sinilah dengan teori receptie excit atau receptio a contrario.
Pada tahun 1970 keluar Undang-Undang No14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Dalam pasal 10 UU tersebut di jelaskan bahwa dalam negara Republik Indonesia terdapat empat lingkungan peradilan, yaitu (a) peradilan umum, (b) peradialan agama, (c) peradilan tata usaha, dan peradilan militer
Secara yuridis formal, klausur tersebut memberikan konsenci hukum bahwa Hukum Islam menjadi dasar hukum materil bagi kaum muslimin yang berurusan di pengadilan Agama. Menindak lanjuti amanat UU no 14 tahun 1970 tersebut, setelah empat tahun lahir Undang-Undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Menurut Prof Mahadi, sejak berlakunya UU No 1/1970 tersebut berarti telah sampailah ajal teori iblis tersebut. Pasal 2 ayat 1 menyartakan bahwa :” perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Praktis dengan mengacu pada pasal tersebut, ketentuan Hukum Agama, ukur sah tidaknya suatu perkawinan dan segala akibat hukumnya. Dengan kata lain, Hukum Islam, secara langsung berlaku tanpa harus melalui diresipil oleh Hukum adat.
Memang Undang-Undang perkawinan tersebut dalam konteks pelaksanaa hukum perkawinan Islam masih punya ”ganjalan”. Pasal 63 UU no 1/1974 menegaskan pengadilan agama baru dapat di eksekusi setelah ada siap eksekusi dari pengadila negeri. Secara teoristis fiat eksekusi tersebut lebih bersifat administratif, tetapi dalam pelaksaanya tidak jarang terjadi pelampauan kewenangan dari pengadilan negeri. Sehingga berakibat menurunkan nilai sebuah keputusan hakim yang berkekuatan Hukum tetap. Artinya, eksekusi terhadap putusan pengadilan agama tidak dapat dijalankan.

D. Kedudukan Hukum Islam dalam Ketatanegaraan Indonesia
Kedudukan Hukum Islam dalam Ketatanegaraan Indonesia dalan ketatanegaraan Indonesia dibagi dalam dua periode :
1. periode penerimaan hukum islam sebagai sumber persuasif
2. periode penerimaan hukum islam sebagai sumber autoritatif
1) dalam hukum konstitusi di kenal persuasive-source dan authotive source. Sumber persuasive ialah sumber yang orang harus di yakinkan untuk menerimanya, sedangkan sumber yang autoritatif ialah sumber yang mempunyai kekuatan (authority).
Dengan proklamasi kemerdekaan 17 agustus 1945 dan berlakunya UUD 1945, walaupun tanpa memuat ketujuh kata dari Piagam Jakarta, teori resepsi yang dasar hukumnya IS dengan tidak berlakunya UUD 1945, teori resepsi kehilangan dasar hukumnya.
Dengan berlakunya UUD 1945 yang aturan peralihannya pasal 11-nya menetapkan, ” segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum di adakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. ” tidak dengan sendirinya pasal 134 (2) IS itu tetap berlaku karena dasar hokum yang di tetapkan oleh suatu undang-undang dasar yang tidak berlaku lagi tidak dapat di jadikan dasar hokum bagi suatu Undang-Undang Dasar baru yang sama sekali tidak mengatur soal itu.
Setelah berlakunya UUD 1945, hokum islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama islam karena kedudukan hokum islam itu sendiri, bukan karena ia telah di terima olh hokum adapt. Pasal 29 UUD 1945 mengenai agama menetapkan :
1) Negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadatmenurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Selama 14 tahun, dari tanggal 22 juni 1945 waktu di tandatangani gentlement agrement antara pemimpin-pemimpin nasionalis sekuler dan nasionalis islam sampai tanggal 5 juli 1959, sebelum Dekrit Presiden RI di undangkan, kedudukan ketentuan ” kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya” adalah persuasiei source. Sebagaimana semua hasil sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan adalah persuasive source bagi grondwet interpretatie dari UUD 1945 maka piagam Jakarta sebagai salah satu dari sidang badan penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan juga merupakan persuasive source dari UUD 1945.
2) barulah dengan di tempatkannya Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959, Piagam Jakarta atau penerimaan hukum Islam telah menjadi authotive source, sumber autoratif dalam hukum tata negara Indonesia, bukan sekedar persuasive source atau sumber hukum persuasif.
Untuk mengetahui dasar hukum Piagam Jakarta dalam konsiderans Dekrit Presiden RI tanggal 15 Juli 1959, perlu di pelajari dasar hukum pendahuluan atau preambule dalam suatu konstitusi dan konsiderans atau timbangan dari suatu peraturan perundangan.
Sebagaimana kita ketahui, Piagam Jakarta itu semula merupakan pembukaan dari Rancangan UUD 1945 yang di buat oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan. Kemudian dalam konsiderans Dekrit Presiden di tetapkan : ” bahwa kami berkenyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut.”
Menurut hukum tata negara Indonesia, preambule atau konsiderans, bahkan penjelasan peraturan perundangan, mempunyai kedudukan UUD adalah rangkaian kesatuan dari suatu konstitusi. Begitu pula, konsiderans dan penjelasan peraturan perundangan adalah bagian integral dari suatu peraturan perundangan. Sebelum adanya UU No. 3/1975 tentang partai politik dan golongan karya, semata-mata merupakan pendapat para sarjana. Dengan penjelasan pasal demi pasal dari pasal 3 UU No.3/1975 di jelaskan :
1) a. yang di maksud dengan UUD 1945 dalam huruf a pasal ini meliputi Pembukaan, Batang Tubuh dan penjelasannya. ” dengan demikian maka preambule atau konsiderans dari UUD dan peraturan perundangan adalah mempunyai kekuatan hukum.
Dalam Dekrit Presiden RI 15 Juli 1959 itu, selain di tetapkan Piagam Jakarta dalam konsiderans, dalam diktum di tetapkan pula ” menetapkan UUD 1945 berlaku lagi”. Dengan demikian dasar hukum Piagam Jakarta dalam konsiderans dan dasar hukum UUD 1945 dan peraturan perundangan yang di namakan Dekrit Presiden. Keduanya menurut hukum tata negara indonesia mempunyai kedudukan hukum yang sama.
Dengan demikian Presiden RI berkenyakinan, jadi bukan hanya Ir.soekarno pribadi, bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut. Dan karena perbedaan Piagam Jakarta dengan pembukaan UUD 1945 hanyalah tujuh kata ” dengan kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya”, maka itu berarti bahwa ketujuh kata itulah yang menjiwahi UUD 1945 dan merupakan auatu rangkaian kesatuan dalam UUD 1945 itu.
Kata ”menjiwai” secara negatif berarti bahwa tidak boleh di buat peraturan perundangan dalam negara RI yang bertentangan dengan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya. Dan secara positif berarti bahwa pemeluk-pemeluk islam di wajibkan menjalankan syari’at islam. Untuk itu harus di buat undang-undang yang akan memberlakukan hukum islam dalam hukum nasional. Pendapat ini sesuai dengan keterangan perdana mentri juanda pada tahun 1959.: ” pengakuan adanya Piagam Jakarta sebagai dokumen historis, bagi pemerintah berarti pengakuan pula akan pengaruhnya terhadap UUD 1945. jadi pengakuan tersebut tidak mengenai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Jadi pengakuan tersebut tidak mengenai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, pasal mana selanjutnya harus menjadi dasar bagi kehidupan di bidang keagamaan.
Politik hukum ini terlihat pula pada ketetapan MPRS No. 11/MPRS’1960 di mana dinyatakan dalam persempurnaan hukum perkawinan dan hukum waris supaya di perhatikan adanya faktor-faktor agama.
Sampai tidak berlakunya lagi ketetapan MPRS No. 11/MPRS’1960 pada 27 maret 1968 tidak satupun undang-undang muncul di bidang hukum perkawinan dan hukum waris walaupu oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional telah di siapkan RUU Peraturan Pelengkap Pencatatan Perkawinan, RUU Hukum Perkawinan, dan RUU Hukum Waris. Sebaliknya, di yurispundensi dengan Keputusan-keputusan Mahkamah Agung sejak tahun 1959 telah di ciptakan beberapa keputusan dalam bidang hukum waris nasional menurut sistem bilateral secara judge made law. Disini terlihat di bidang hukum waris, nasional yang bilateral lebih mendekakati hukum islam daripada hukum adat.

BAB III
KESIMPULAN

Negara Republik Indonesia menganut berbagai sistem hukum, yaitu sistem hukum adat, sistem hukum islam, dan sistem hukum eks barat. Ketiga sistem hukum di maksud, berlaku di negara Indonesia sebelum Indonesia merdeka.
Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia:
1. Teori Receptio in Complexu Hukum adat setempat dalam keyataannya sering menyesuaikan diri dengan Hukum Islam. Misalnya, di Banten pada kekusaan Sultan Agung Tirtayasa, Hukum Adat dan Hukum Agama tidak ada bedanya. Di Sulawesi, di Wajo, hukum waris di selesaikan dengan menggunakan Hukum Islam dan Hukum Adat. Keduaanya menyatu dan Hukum Adat menyesuaikan diri dengan Hukum Islam. Dengan kata lain, sosialisasi Hukum Islam pada waktu itu berjalan sangat hebat. Sultan agung menyebut dirinya sebagai Abdul Rahman Khaalifatullah Sayidi Panatagama. Atas dasar penerimaan Hukum Islam sebagai norma hukum yang berlaku dalam masayarakat
2. Teori Receptie bahwa hokum yang berlaku bagi orang Islam adalah hukum Adat mereka masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku apabila telah di resepsi atau di terima oleh Hukum Adat. Jadi, hukum adatlah yang menentukan ada tidaknya Hukum Islam.
3. Teori Receptio a Contrario bahwa hukum Islam telah di terima sebagai sistem yang berlaku sepenuhnya bagi umat islam dengan mengeluarkan Hukum Adat,atau dengan kata lain Hukum Adat baru berlaku apabila tidak bertentangn dengan Hukum Islam, wacana materiilnya terbatas pada hukum-hukum yang diatur dalam perundang-undangan.
Kedudukan Hukum Islam dalam Ketatanegaraan Indonesia
Kedudukan Hukum Islam dalam Ketatanegaraan Indonesia dalan ketatanegaraan Indonesia dibagi dalam dua periode :
1. periode penerimaan hukum islam sebagai sumber persuasif
2. periode penerimaan hukum islam sebagai sumber autoritatif

DAFTAR PUSTAKA

Daud ali, hokum islam: peradilan agama dan masalahnya, dalam tjun surdjaman. Op.cit hal 74
Drs. H. Halim, Abdul, M.A. 2005, Politik Hukum Islam, Ciputat Press.
Dr. Rofiq, Ahmad, M.A., 2001, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta :Gema Indonesia
Rofiq, Ahmad, 1995, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
Dr, Praja, Juhaya, 1994, Hukum Islam di Indinesia, Bandung: Remaja Resda
Sunny, Ismail,S.H.M.C.I Hukum Islam dalam Hukum Nasional
Dr. Saqaf, Salim, 2004, Penerapan Syari’at Islam di Indonesia, Jakarta: Global Media
Sumitro, Warkum, S.H.,M.H, 2005, Perkembangan Hukum Islam, Malang: Bayu Media
Drs, H. Wardi Muslich, Ahmad, 2005, Hukum Politik Islam, Jakarta: Sinar Grafika
H . Z. A. Noeh, Kerukunan Umat Beragama, hal. 20
Ditbinbapera, laporan hasil prnelitian. Bagian proyek pengadilan agama . jakarta, tt., 37
Daniel s.lev, 1964., hokum kewarisan bilateral menurut quran dan hadist Jakarta : Tinta Mas ,




0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan